Minggu, 23 Juni 2013

Tradisi Saweran Dalam Upacara Perkawinan Adat Sunda Oleh Slamet Priyadi

Slamet Priyadi Blog│Sabtu, 23 Juni 2013│07:26 WIB

Image, Prosesi Acara Saweran (Foto: SPriyadi1957)
Prosesi Acara Saweran
Pada hari Jumat, 15 Juni 2013 pukul 09:20, saya menyaksikan prosesi pernikahkan putra kedua saya, "Jagad Perwira" dengan "Bunga Restu Dewi Putri", putri kedua dari bapak Encep Hudri dan ibu Euis (besan) di rumahnya yang beralamat di kampung Tejo Ayu, Cicurug, Sukabumi.

Ada acara yang cukup unik dan menarik dari keseluruhan prosesi upacara perkawinan tersebut, yaitu acara setelah prosesi pernikahan atau Ijab Kabul Sang Pengantin selesai dilaksanakan yaitu berupa tradisi “Saweran”. Dan, tradisi saweran ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sebuah prosesi upacara perkawinan masyarakat sunda secara turun-temurun dilakukan.

Dalam pelaksanaannya acara saweran ini dipandu oleh seorang juru sawer yang biasanya diperankan oleh seorang wanita yang tingkat religi, pengalaman dan pengetahuannya dalam seluk beluk bahtera kerumahtanggaan cukup mendalam. Apa yang disampaikan dalam tembang-tembang yang dilantunkannya berisikan pituah-pituah khusus untuk sang pengantin agar mereka di kemudian hari mampu mengarungi bahtera rumahtangga secara damai, sejahtera, harmonis dan bahagia.

Pada acara Saweran ini, kedua mempelai duduk secara berdampingan, yang didampingi oleh orangtua masing-masing mempelai. Sebuah payung berwarna kuning emas memayungi keduanya. Lantunan tembang-tembang berlanggam sunda disampaikan oleh juru sawer, berisikan pituah-pituah bagaimana seharusnya menjalani kehidupan sebuah mahligai rumah tangga bahagia. Selanjutnya, juru sawer di tengah-tengah lantunan tembang-tembang yang dinyanyikan, menebarkan berbagai jenis benda yang ada dalam “bokor” yang biasanya berisi koin uang recehan, beras, bunga, permen, dan lain-lain kepada semua yang hadir, baik para sanak keluarga maupun para undangan.

Add caption
Menurut juru sawer, hal itu merupakan perlambang seperti; uang sebagai lambang kemakmuran, beras sebagai lambang kesejahteraan, permen sebagai lambang bahwa, sepahit apapun proses kehidupan yang dijalani dalam hidup berumah tangga, harus selalu diselesaikan dengan cara yang manis semanis rasa permen.

Yang menarik adalah acara saweran ini merupakan acara yang paling dinanti-nantikan dan sangat disukai anak-anak yang hadir di situ yang pada umumnya mereka adalah anak-anak dari pihak sanak keluarga sendiri dan ada juga putera atau puteri dari para undangan yang ikut orang tuanya saat menghadiri pesta perkawinan. Mereka semua saling berlarian, melompat sana sini, saling berebut koin uang recehan dengan perasaan suka cita dan riang gembira.

Berkait dengan ini, Juru Sawer lebih jauh menegaskas, Tradisi Saweran yang dilakukan pada setiap upacara perkawinan atau upacara khitanan dalam keluarga masyarakat Sunda merupakan lambang rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkah rizki yang telah diberikan dan dimilikinya. Lain daripada itu , upacara ritual Tradisi Saweran juga bertujuan agar kedua mempelai pasangan pengantin dapat memahami makna yang terkandung di dalamnya bahwa di dalam hidup ini, agar selalu saling berbagi, saling membantu, saling bekerja sama, saling tolong menolong terhadap sesama. (SPriyadi1957)

Referensi:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1982. Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Jawa Barat. Jakarta: Depdikbud

Penulis:
Slamet Priyadi

"KITA SEMUA WAYANG": Tradisi Saweran Dalam Upacara Perkawinan Masyaraka...: Slamet Priyadi Blog│Sabtu, 2 3 Juni 2013│0 7 :2 6 WIB Jagad Perwira dan Bunga Restu Dewi Putri syah menjadi pasangan suami istri ...

Rabu, 12 Juni 2013

Berterimakasihlah pada Orang yang Mencaci Anda

Denmas Priyadi Blog│Rabu, 12 Juni 2013│15:30 WIB
 
Drs. I Gusti Ngurah Dwaja
ISTRI kerap menjadi sasaran kekesalan suami. Kesalahan sedikit saja, kadang akan dibesar-besarkan. Jika terjadi perlakuan demikian istri diharapkan tetap menanggapinya dengan kelembutan. “Berterimakasihlah pada orang yang mencaci-maki Anda.

Karena itu akan membuat Anda menjadi lebih sabar dan bijaksana,” ujar Gede Prama dalam Seminar “Rebut Masa Depan dengan Menyemai Masyarakat Enterpreneurial” yang digelar Kelompok Media Bali Post bekerja sama dengan Bank Saudara, di Denpasar. Tampil juga sebagai pembicara, founder Medco Group Arifin Panigoro yang mengupas tentang “Tantangan dan Peluang sebagai Surga Masyarakat Entrepreneurial”.

Gede Prama mengatakan tiap tingkatan ke atas pasti selalu akan menemukan banyak halangan, rintangan dan cobaan. Karena tanpa itu, manusia menjadi lemah. Kehidupan harus terus naik. Naik secara material juga spiritual. Keseimbangan ini yang akan membuat manusia bahagia. “Jangan menganggap masalah sebagai racun, tetapi vitamin/berkah. Ini yang akan membuat manusia bertumbuh,” ujarnya.

Rintangan terbesar manusia ada dalam pikirannya. Pikiran positif akan menghadapkan manusia pada peluang, sedangkan pikiran negatif membawa manusia pada ancaman dan halangan. Karena itu, penulis buku “Simfoni di Dalam Diri: Mengubah Kemarahan Menjadi Keteduhan” ini menyarakan peserta seminar untuk selalu berpikir positif.

Ia memberi ilustrasi orang yang mengirimkan kotoran sapi yang diletakkan di halaman rumah tetangganya. Jika berpikir negatif, kotoran sapi ini dinilai sebagai bentuk penghinaan. “Apa maksudnya mengirimkan tahi sapi ke rumahku. Aku tak pernah cari masalah sama dia. Awas aku akan membalasnya.” Kata-kata itu yang bisa jadi terlontar dari mulut orang yang berpikiran negatif. Lain halnya jika penerima kiriman itu berpikir positif. “Tetangga saya itu sangat menaruh perhatian. Mungkin dia melihat tanaman di kebun saya kurang subur dan perlu diberi pupuk. Makanya dia mengirim tahi sapi.”

Gede Prama mengingatkan jangan melihat pesaing atau orang yang membenci kita sebagi musuh, tetapi mereka adalah guru terbaik. Manusia dalam menjalani hidup diharapkan mengikuti mental pengusaha, teguh, dan ulet. Hambatan yang kerap dialami manusia biasanya dikarenakan selalu melihat kendala terlebih dahulu. “Kendala ini harus diubah menjadi kinerja. Di balik penolakan-penolakan itu, kita dituntut lebih kreatif,” ujarnya.

Untuk mencapai suatu keberhasilan, Gede Prama memberikan 4 kunci yakni aspirasi, kebiasaan, konsistensi, dan komitmen. Semua bermula dari aspirasi. Dari aspirasi ini, jika ditekuni (kebiasaan) akan menumbuhkan potensi. Dan, jika dijalani dengan konsisten dan komitmen yang kuat, niscaya mencapai keberhasilan.

Posted:
Drs. I Gusti Ngurah Dwaja

GURU SMAN 42 JAKARTA MENULIS: Berterimakasihlah pada Orang yang Mencaci Anda: Denmas Priyadi Blog│Rabu, 12 Juni 2013│15:30 WIB Drs. I Gusti Ngurah Dwaja ISTRI kerap menjadi sasaran kekesalan suami. Kes...