Tampilkan postingan dengan label SASTRA. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label SASTRA. Tampilkan semua postingan

Selasa, 12 Juli 2016

KUMPULAN PUISI BULAN JULI BAG 1 Karya: Ki Slamet 42

Blog Ki Slamet 42: Ungkapan Kasih
Selasa, 12 Juli 2016 - 23:50 WIB



Image "Macet Mudik Lebaran" ( Foto: Google )
Macet Mudik Lebaran 2016





“DI BALIK KEMACETAN MUDIK LEBARAN”
Karya : Ki Slamet 42

Di saat kita pulang kampung mudik lebaran
Ketika alami kemacetan kendaraan di jalan
Ketika ratusan,  bahkan ribuan kendaraan
Nyaris tiada bergerak  di hadapan  stagnan
Seharian gelut di arena kemelut kemacetan
Tentu itu bangkitkan rasa jenuh dan bosan

Tapi meski hati kita rasa emosi gegeregetan
Dan  suasana hati  jadi  dirasuki kemarahan
Kita meski mampu kelola hati yang demikian
Karena di sana ada terkandunglah pelajaran
Yang bisa tempa jiwa  jadi penuh kesabaran
Apalagi di saat sasi suci di bulan Ramadhan

Ketika kita  sampailah  di kampung  halaman
Hangatnya rasa hati berselimut kebahagiaan
Jumpa orang tua sanak kadang handai tolan
Terkenang di masa silam saat bersama teman
Berlarian di pematang sawah  senda gurauan
Berenanglah di sungai berjemur di bebatuan

Meski di kampung halaman cumalah sepekan
Namun perasaan tenteram penuh kedamaian
   Luluhkan segala sikap ego penuh kedumehan   
Merebakkan sifat asih penuh kedermawanan
Kepada semua kerabat dan para lemah insan
Dengan berbagi  sedikit rizki  halalan toyiban


Jadi adalah makna positif di balik kemacetan
Saat kita mudik lebaran di kampung halaman
Tempa jiwa penuh toleransi  dan keempatian
Melatih emosi diri untuk geliatkan kesabaran
Yang mampu  sebar pancarkan sifat kebaikan
Ngacu ajaran Muhammad Nabi Akhir Zaman


Bumi Pangarakan, Bogor
Minggu, 10 Juli 2016 –17:45 WIB


Image "Sang Penerang" (Foto: Google)
Sang Penerang
“JADILAH SANG PENERANG”
Karya: Ki slamet 42

Ilmu adalah pelita dunia yang terangi hidup saat gulita
Singkaplah selimut kebodohan yang membeku di kepala
Mak galilah dan kaislah ilmu dengan segala daya upaya
Agar otak di kepala menjadi bisa timbulkan kilas cahaya
Pancarkan pelita penerang kegelapan di alam mayapada
Kepada manusia yang masih hidup di dalam gelap gulita 



Ilmu akan jadikan kita cerdas, pintar, dan berkharisma
Mata akan nampak tajam bersinar  pancarkan wibawa
Bicara penuh isi mengacu referensi dan bisa dipercaya
Tapi jika tak berbenteng iman bisa lari ke arah jumawa
Terpaku pada kesombongan yang semakin mengemuka
Tiada pernah mau menerima kebeneran di luar dirinya

Maka lambarilah atma dan rasa dengan ajaran agama
‘Tuk bentuk jiwa dan raga benderang nan bercahaya
Jadikanlah kita sosok sang penerang di alam semesta
Tiada berpamrih apa-apa kecuali ridho Allah semata
Sebab DIA-lah Sang Penguasa pemberi warna-warna
Yang mutlak menjastifikasi kepada hamba-hambanya

Maka jadilah sang penerang selama kita masih berjaya
Menjadi pelita yang cahayanya terangi gelapnya cuaca
Menjadilah sosok pemecah masalah  di antara sesama
Yang sapanya, sikap dan perilakunya sejukkan suasana
Bukanlah orang  yang  justru jadi pemantik  problema
Penyulut hingga  api besar berkobar membakar segala

Bumi Pangarakan, Bogor
Minggu, 03 Juli 2016 –11:30 WIB
  

Image "Seandainya Kau" (Lukisan: SP)
Seandainya Kau

“SEANDAINYA KAU ADALAH AKU”
Karya: Ki Slamet 42

Seandainya aku jadi kau maka kau adalah aku
Yang selalulah bersatu di dalam kata dan laku
 Seandainyakau adalah aku maka kau dan aku
Selalulah bersatu kata selalulah bersatu padu
Dan, segala tingkah selalu acu pada yang Satu
Dia, Dia, Dia, Dia, Allah Sang Maha Penentu


Tetapi, adanya keberadaanmu bukan untukku
Dan adanya keberadaanku bukanlah untukmu
Sehingga akupun tiadalah bisa membimbingmu
Dan engkaupun begitu tiada bisa mentolelirku
Keberadaanmu, tetaplah menjadi identitasmu
Dan keberadaanku pun adalah jua identitasku


Kita memang tak ditakdirkan untuklah bersatu
Sebagaimana keinginan, dan cita-cita kita dulu
Pagar pemisah itu begitu kokoh bagaikan tugu
Hingga kita tiada bisa saling bergenggam rindu
Dan,  kita hanya bisa saling tatap bayang semu
Yang kemudian hilang sembunyi di dalam kalbu

Seandainya kala dahulu kita jadi berpadu satu
Tentu kita tiada akan dipermainkan rasa rindu
Yang mengoyak-ngoyak tirai hati nan membiru
Hingga rubah warna jiwa menjadi merah dadu
Dan kita pun saling kepak sayap putih berbulu
Terbanglah tinggi ke akaca nan berwarna biru

Sampailah kini hati ini jadilah berwarna kelabu
Selam terendam di dalam air kolam perigi rindu
Tiada satu mampu melipur lara hati nan sendu
Meskipun beraneka warna-warni bunga merayu
Wanginya seharum sutera dewangga alam semu
Tapi tak bisa lenyapkan kata, andainya kau aku
    
Bumi Pangarakan, Bogor
jumat, 01 Juli 2016 –11:03 WIB
 


Denmas Priyadi Blog: "INILAH KARYAKU": KUMPULAN PUISI BULAN JULI BAG 1 Karya: Ki Slamet 4...: Blog Ki Slamet : "Inilah Karyaku" Selasa, 12 Juli 2016 - 23:05 WIB Macet Mudik Lebaran 2016 “DI BALIK KEMACETAN MUDIK L...

Sabtu, 19 Januari 2013

Pesona Anak-Anak dalam Sastra Oleh Maria Magdalena Bhoernomo | Sabtu, 19 Januari 2013


Karya-karya sastra yang sangat populer dan bahkan fenomenal ternyata mengangkat tokoh anak-anak. Misalnya, dongeng-dongeng karya HC Andersen, novel serial Harry Potter karya JK Rowling dan kumpulan cerpen Palestine's Children karya Ghassan Kanafani menjadi karya best seller tingkat internasional karena mengangkat tokoh anak-anak. Begitu juga novel Laskar Pelangi dan novel-novel lain karya Andrea Hirata, yang menjadi best seller, karena mengangkat tokoh anak-anak.

Fakta tersebut menunjukkan bahwa sastra dengan tokoh anak tidak bisa diremehkan. Dengan kata lain, sastra dengan tokoh anak ternyata memang penuh pesona, karena hadirnya tokoh anak-anak dengan keistimewaan-keistimewaan yang sudah pasti sangat menarik. Pembaca terpuaskan karena seolah-olah berjumpa dengan narasi dan deskripsi tentang dunia anak-anak yang maha indah. Keterpesonaan pada narasi dan deskripsi tokoh anak-anak dalam sastra, bagi kalangan pembaca dewasa khususnya, juga bisa saja menjadi suatu pengalaman imajinatif yang paling indah dalam kehidupannya. Ini berdasarkan banyak fakta bahwa masa kanak-kanak adalah sorga yang hilang bagi banyak orang yang sudah dewasa. Pengalaman menemukan sorga yang hilang, betul-betul menyenangkan bagi pembaca sastra yang mengangkat tokoh anak-anak. Hal ini sudah tentu telah dimengerti oleh penulisnya. Dan oleh karenanya, penulis sastra dengan tokoh anak umumnya sengaja memilih bahasa yang simpel tapi unik dan puitis agar mudah dicerna tapi sulit dilupakan oleh kalangan pembacanya di segala usia. Misalnya, frasa-frasa dalam novel Laskar pelangi banyak yang puitis tapi simpel sehingga mudah dicerna oleh kalangan pembaca segala usia. Dan adanya kosakata-kosakata baru juga disertai dengan penjelasan artinya sehingga pembaca tak perlu salah paham atau kesulitan memahaminya.

Sastra dengan tokoh anak memang penuh pesona dan tidak bisa diremehkan, karena ditulis dengan mematuhi norma-norma sastra konvensional. Misalnya, alur cerita jelas, deskripsi penokohannya tegas dan seting atau latarnya bernas. Dengan demikian sastra dengan tokoh anak bukan termasuk fiksi yang gelap atau remang-remang yang syarat multitafsir.

Bagi kalangan kritikus sastra, boleh saja menilai sastra demikian cenderung lemah secara leterer. Maksudnya tentu lemah dalam hal eksporasi ide dan imajinasi liar yang memberi peluang seluas-luasnya bagi pembaca untuk mencoba menafsirkannya. Tapi kelemahan leterer tidak serta merta layak dijadikan vonis untuk merendahkannya. Selama ini, kalangan kritikus sastra memiliki kecenderungan sikap seperti pria hidung belang yang gemar mengunjungi lokalisasi pelacuran. Mereka selalu datang dengan satu harapan: semoga ada yang baru. Harapan demikian telah menghapus sikap apresiatif terhadap semua yang telah menjadi bagian masa lalu atau menjadi barang lama. Sikap seperti pria hidung belang tentu bukan milik pembaca awam. Dengan kata lain, bagi pembaca awam, setiap membaca sastra bertokoh anak adalah kesempatan berwisata ke "sorga yang hilang" dengan cerita dan tokoh lain tapi bukan baru. Dan lazimnya, sastra yang disukai pembaca dewasa adalah yang bisa mengajak berfantasi menikmati masa kanak-kanak yang indah. Dengan norma sastra yang serba konstan, sastra dengan tokoh anak tidak perlu ditimbang-timbang berat ringannya dengan rumus-rumus leterer yang terlalu rumit. Bahkan, sastra demikan tidak selayaknya dibandingkan dengan sastra remaja atau dewasa yang sengaja ditulis dengan semangat propaganda terhadap nilai-nilai atau ideologi sosial politik tertentu.
Meski demikian, sastra dengan tokoh anak bukan berarti pepesan kosong yang tak berisi propaganda atau misi. Bahkan sastra demikian umumnya ditulis dengan semangat menawarkan misi kemanusiaan yang abadi (humanisme universal) sehingga akan tetap relevan menjadi bacaan untuk semua generasi.

Sastra dengan tokoh anak memang mempesona dan tidak bisa diremehkan, tapi faktanya sering diabaikan oleh kalangan kritikus sastra. Dan sejauh ini, banyak karya sastra demikian belum mendapat respon proporsional dari kalangan kritikus sastra yang kredibel. Kesannya kemudian selalu klise: bahwa kalangan kritikus sastra bagaikan hidup di menara gading yang tak mudah tergiur riuhnya dunia di sekelilingnya. Dengan kata lain, kalangan kritikus sastra cenderung antipati terhadap apresiasi yang telah ditunjukkan oleh khalayak. Bahkan seolah-olah selera khalayak yang terpesona kepada sastra bertokoh anak dianggap tidak penting dan tidak mampu mendorong kritikus untuk menulis kritik yang proporsional untuk sastra anak.

Layak dicurigai, betapa kecenderungan antipati terhadap sastra bertokoh anak bisa jadi sengaja dipilih oleh kalangan kritikus sastra untuk tetap mempertahankan hegemoni nilai-nilai tertentu meski nyata-nyata berseberangan dengan selera khalayak. Dalam hal ini, selera khalayak akan cenderung dianggap rendah dan tidak layak dicatat dan diapresiasi. Efeknya, sudah pasti akan merugikan dunia sastra secara keseluruhan. Misalnya, sastra yang baik menurut kritikus sastra bisa jadi tidak menarik bagi khalayak, sehingga jarang ada karya sastra yang berkualitas menjadi best seller. Dengan demikian, antipati terhadap sastra bertokoh anak-anak tidak selayaknya dipertahankan oleh kalangan kritikus sastra. Sudah saatnya sastra demikian juga dikritik secara proporsional sehingga dunia sastra menjadi cerah di masa-masa mendatang.

*) Maria Magdalena Bhoernomo, Penikmat sastra, tinggal di Kudus, Jateng.