Senin, 31 Desember 2012

Cerpen Mega Vristian: “PING YI”



Cerpen Mega Vristian: “PING YI”
Sabtu, 29 Desember 2012 | 18:09 WIB | KOMPAS.com

Udara menghangat di sela dinginnya winter ketika saya pergi ke pasar bunga. Saya ingin membeli beberapa pot untuk menambah bunga di rumah majikan saya. Pot-pot bunga itu akan saya letakkan di ruang galeri lukisan keluarga. Di sana tersimpan lukisan karya kedua anak majikan saya, juga lukisan saya. Kami bertiga punya hobi yang sama: Melukis.  Melukis dengan aliran lukisan China.

Saya dikursuskan melukis oleh majikan saya. Proses saya masuk kursus melukis itu agak unik. Sebetulnya yang dikursuskan kedua anak majikan saya, tapi kemudian saya dibarengkan sekalian ikut kursus. Kursus itu diadakan oleh sebuah partai politik di Hong Kong. Kebetulan kantornya tak jauh dari apartemen majikan saya. Mungkin untuk menarik masyarakat sekitar, partai itu mengadakan berbagai kursus pendidikan. Biayanya sangat murah. Dua anak asuh saya oleh orangtuanya diikutkan kurus chinese painting dan saya kebagian menunggui setiap mereka sedang kursus. Dan atas kebaikan pimpinan kursus, saya diperbolehkan menunggui di dalam ruangan, duduk di samping mereka hingga jam kursus selesai. Setiap kursus berlangsung saya ikut menyimak, kemudian diam-diam saya iseng ikut melukis. Saya melukis di dalam buku catatan belanja yang saya bawa. Ternyata, ulah iseng saya diperhatikan sang guru lukis. Tanpa sepengetahuan saya, Pak Guru Lukis membicarakan saya kepada majikan saya. Entah apa yang mereka bicarakan. Yang jelas, saya kemudian menjadi murid lukis bersama kedua anak asuh saya itu di kelas lukis yang semua muridnya warga Hong Kong. Hanya saya yang bukan warga Hong Kong.

Kemampuan melukis saya semakin bertambah karena kursus tadi. Kemudian saya kenal salah seorang tetangga apartemen majikan saya. Dia pelukis. Karena dia, lukisan yang saya buat rasanya pun semakin menyenangkan. Semua lukisan yang kami buat ada di ruang galeri lukisan keluarga. Ruang yang kami cintai. Saya merasa suasana bertambah nyaman kalau di ruang itu ada bunga-bunga.
***
Toko kecil milik Paman Ghing Souk di pasar bunga sudah ramai ketika saya datang. Pembelinya kebanyakan perempuan manula. Selain menjual bunga-bunga untuk ditanam, toko bunga itu juga menjual bunga untuk hiasan meja
makan dan ritual sesaji Dewa. Para manula itu membeli bunga pelengkap sesaji.
Saya berpikir bunga apa yang akan saya beli, sebab saya tahu saya tidak bisa membeli bunga sembarangan. Nenek majikan saya sering mengingatkan, ada beberapa bunga yang tak layak ditanam di dalam rumah. Ini menurut tradisi dan kepercayaan masyarakat China. Tanaman merambat, misalnya, katanya membawa sial. Sejujurnya saya tak percaya, tapi saya menghargai nasehat nenek karena bunga yang saya beli akan saya letakkan di rumah mereka.

Ketika sedang asyik memilih bunga, tanpa sengaja kaki saya menyenggol tumpukan koran dan kertas bekas. Koran dan kertas-kertas untuk membungkus bunga itu berantakan. Alangkah kagetnya saya? Di antara koran dan kertas-kertas itu ternyata banyak lukisan China. Makin kaget lagi ketika melihat Ghing Souk, si paman penjual bunga, dengan santainya hendak membungkus bunga dengan lukisan China itu. Lukisan China asli. Asli lukisan, bukan cetakan atau fotokopian. Itu kertas kanvas yang terbuat dari bahan merang putih.

"Hoiiii, Ghing Souk, tang chan! (Hoiii, Paman Ghing Souk, bentar!)” teriak saya sambil merebut agak kasar lukisan itu dari tangan Paman Ghing Souk. “Ini kan lukisan China! Susah menggambarnya,Paman!"

Ulah saya yang serta-merta ini mengagetkan Paman Ghing Souk dan menarik perhatian para pengunjung. Namun, penjual bunga itu tak marah. Paman Ghing Souk malah tertawa ngakak, sebab kami sudah lama saling kenal.
“Comea?(Kenapa?)”
“Keterlaluan! Ini kan lukisan asli! Sulit melukisnya, tahu!”
“Hahaha…. Me, kamu suka, ya? Tuh, masih banyak. Kalau kau suka, ambil saja! Tapi ganti dengan koran bekas, ya?” kata Paman Ghing Souk, sambil menunjukkan beberapa gulungan lukisan tak jauh dari kakinya.

Saya memungutinya sambil cemberut. Paman Ghing Souk malah tambah ngakak. Saya masuk-masukkan gulungan lukisan itu ke dalam tas kresek besar warna hitam yang sengaja saya bawa dari rumah. Tas untuk saya membawa bunga-bunga yang saya beli, sebab di Hong Kong sudah banyak toko yang tidak menyediakan tas belanja untuk mengurangi polusi. Saat saya sedang sibuk dengan lukisan-lukisan itu, suara seorang perempuan mengagetkan saya karena menyapa dengan keras.

 "Me… Ame, ya!" sapanya. Saya menoleh dan saya makin kaget ketika mengetahui perempuan yang memanggil saya adalah Hing Shui Ping. Dia tetangga apartemen di tempat kerja saya. Dia yang pernah mengajari saya melukis.

Ya, Allah...! Kami berpelukan sesaat. Dia kemudian mencium lembut pipi tiris saya.
Oh, ya. Orang-orang di sekitar tempat kerja saya memanggil saya Ame, kadang juga Meme. Entah kenapa mereka sulit mengucapkan nama saya: Mega. Sejak Hing Shui Ping pindah empat tahun lalu, kami tak pernah bertemu. Maka pertemuan ini sungguh surprise bagi kami. Kami saling menanyakan kabar.

"Kertas-kertas lukis itu pemberianku,” ujar Hing Shui Ping menunjuk kertas-kertas yang sudah pindah ke tas kresek milik saya. “Itu sketsa saja, aku tak memerlukannya lagi. Daripada kubuang, lumayan kan untuk bungkus bunga oleh Paman Ghing Souk? Kau kurus sekali sekarang. Apa pekerjaanmu makin berat? Atau, apa kau masih suka melukis hingga larut malam?"

Saya ganti mengamati dirinya. Ping Yi, begitu saya memanggil Hing Shui Ping. Ping nama akhirnya, sedang Yi dalam bahasa Kanton artinya ‘tante’. Dia tak banyak berubah, tetap segar dan ceria, walau gurat tua melukis nakal di wajahnya yang cantik. Saya pertama mengenal Ping Yi kebetulan juga di pasar bunga ini, duabelas tahun yang lalu. Saat itu dia kerepotan membawa banyak belanjaan kerepotannya bertambah karena belanjaannya bertambah dengan seikat besar bunga. Saya membantunya karena saya tahu dia tetangga majikan saya, cuma kami tak saling kenal waktu itu. Saya beruntung pada akhirnya bisa mengenal Ping Yi karena selain ramah, dia ternyata seorang pekerja seni. Setiap malam dia menyanyi sambil bermain sitar dan menjual lukisannya di Pasar Seni Temple Street. Dulu di awal kepindahan majikan saya di Yau Ma Tei, saya dibuat penasaran oleh suara perempuan yang menyanyikan lagu-lagu tradisional China sambil bermain sitar di malam hari.
“Itu kerjaan perempuan gila malam-malam begini masih bernyanyi!” Itu jawaban majikan saya saat saya tanya siapa perempuan pemilik suara itu.
Masak sih yang menyanyi itu perempuan gila? Jawaban majikan saya itu membuat saya semakin penasaran. Saya jadi ingin tahu lebih jauh. Tapi, bagaimana caranya? Sebab, saya tahu di Hong Kong sangat sulit mencari informasi yang bukan urusan kita. Nanti dikatakan pa kwak. Pa kwak bahasa Kanton. Artinya, sok ingin tahu urusan orang.
"Kau tahu, Me? Waktu itu pintuku sering digedor satpam karena tetangga pada protes, sebab aku sering tak sadar jika sedang bernyanyi. Suaraku keluar keras. Tak salah jika majikanmu mengatakan aku gila." Dia tergelak kencang.
Karena sering dapat teguran, dia kemudian bernyanyi di rumah hanya ketika Hong Kong hujan deras dan diguncang badai. Saat badai menghempas itulah suara kencang nyanyinya tak terdengar tetangga.
"Mereka yang memintaku menyanyi. Kan membayar aku, Me? Aku jadi harus selalu berlatih bernyanyi walau sudah puluhan tahun aku bernyanyi." Terharu saya mendengar penjelasannya.
Sejak kenal dia, tanpa sepengetahuan majikan, saya sering bermain ke rumahnya ketika majikan dan anak-anak tak di rumah, apalagi siang hari dia selalu di rumah. Saya sangat tertarik belajar melukis China.
Dia mau mengajari saya melukis. Kalau mengajari saya, dia selalu dengan bernyanyi. Dia pengagum Gu Kaizhi. Dia pun mengajarkan teori Gu Kaizhi kepada saya. Kata dia, melukis harus penuh kecintaan hingga akan memberi kekutan pada hasil karya. Saya sendiri sejak dulu berangan-angan untuk menggabungkan lukisan dengan puisi seperti yang dilakukan pelukis dan penyair China, seperti Su Dongpo, Ni Yunlin, atau Dong Qichang. Painthing in poetry and poetry in painthing, waduh asyik sekali!
Suatu ketika saya mengeluh kepadanya. “Ke Hong Kong kok saya jadi babu saja. Sesungguhnya saya ingin belajar banyak tentang lukisan China dan sastranya,” kata saya.
"Kita sama perempuan bernasib malang dan miskin, Me. Menghadapi hidup yang begini berat sendiri,” sahutnya. “Tapi aku jarang menangis, kecuali ketika aku dituntut penjiwaan dalam lagu atau opera. Bahkan ketika suamiku sering menamparku, aku tak menangis. Aku baru benar-benar menangis saat suamiku meninggal dengan tragis. Aku menangisinya karena dia tak menyadari bahwa aku teramat mencintainya dan menjaga kesetiaan cintaku buat dirinya."
Waktu itu malah saya yang menangis hingga tetesan air mata saya membuat genangan kecil di kanvas lukis dari kertas merang yang terhampar di meja.
Saya lalu gantian bercerita dengan maksud menguatkan hatinya. Saya bercerita tentang ribuan perempuan Indonesia yang terpaksa meninggalkan keluarganya, termasuk saya. Dia lalu memeluk saya erat sekali.
"Jangan menangis, Me, suruh mereka kuat dan jangan menangis," nasehatnya.
Ping Yi bukan asli penduduk Hong Kong. Dia dari lembah Wen Chang, Hainan, China. Berasal dari keluarga miskin, anak ke-6 dari sembilan bersaudara. Orangtuanya pemetik teh. Sepulang sekolah, dia pun membantu orangtuanya memetik teh. Saat memetik teh itulah dia suka bernyanyi hingga para tetangganya mengetahui kepandaiannya bernyanyi.
Ketika usia 13, suara Ping Yi menarik perhatian kelompok opera China sehingga dia ditarik menjadi anggota spesial. Anggota spesial karena Ping Yi masuk tanpa tes. Sejak itu dia keliling ke berbagai wilayah.
Dia cantik, sangat cocok sebagai penyanyi apalagi suaranya sangat mengagumkan. Dia juga pintar menggambar dan memainkan sitar. Seorang lelaki Hong Kong mengagumi suaranya dan akhirnya memboyongnya ke Hong Kong sebagai istri. Malangnya, suaminya temperamental, kasar, suka memukul, dan pemabok. Namun, Ping Yi tetap memilihnya karena dia ingin menjadi warga negara Hong Kong. Menjadi warga Hong Kong memang menjadi impian banyak gadis di zamannya.
Empat tahun Ping Yi di Hong Kong, suaminya meninggal akibat keributan antar geng hitam di daerah Jordan. Belakang diketahui suaminya terjerat utang pada rentenir akibat kalah judi di Macau. Beruntung Ping Yi masih mempunyai tabungan dari hasil menjual lukisan-lukisannya sehingga rumah suaminya bisa diperjuangkan menjadi miliknya.
Dia pernah mengambil keponakannya, seorang gadis jelita, tapi gadis itu akhirnya pergi dan memilih jadi pelacur karena tak tahan hidup sederhana dengan Ping Yi.
Sejak itu, Ping Yi total hidup sendiri sebagai penyanyi panggilan dan kadang mangkal di restoran-restoran. Namun, empat tahun lalu, karena faktor ekonomi, dia menjual rumah warisan suaminya. Sebagian uangnya dikirim ke Wen Chang untuk membantu pendirian sekolah seni. Setelah itu, saya kehilangan jejaknya.
***
Kami berpisah di pintu pasar karena masih banyak yang harus saya beli. Ping Yi, sejak menjual rumah suaminya, ternyata dia tinggal tiga tahun di China, bekerja sebagai guru di sekolah seni. Namun, rasa cintanya kepada almarhum suaminya mengantar dia kembali ke Hong Kong. Dia ingin merawat kuburan Suaminya. Kini dia tinggal bersama anak angkatnya yang sudah menikah dengan lelaki Hong Kong, dan Ping Yi tetap bernyanyi walau usianya sudah tak muda lagi.
Saya bahagia masih bisa menemuinya lagi sesuka saya saat ada kesempatan. Nah, kemarin malam saya mengatakan sejujurnya kepada majikan saya bahwa saya akan menemui Ping Yi setelah urusan makan malam selesai.
Sudut jalan Tempel Market, samping kantor pos, Jordan, malam hari selalu ramai. Selain digunakan sebagai pasar malam, juga ada panggung-panggung untuk pementasan seni atau ngamen, tapi pada tempat yang tetap. Tempat pentas yang sederhana, hanya beralas lantai.
Ketika saya datang, pertunjukan seni sudah dimulai. Mereka menyajikan karaoke lagu klasik China. Saya juga melihat Ping Yi sibuk bernyanyi sendiri, terkadang juga duet atas permintaan penonton. Suaranya masih seperti dulu, mengagumkan.
Saya dengan isyarat telunjuk memanggil lelaki tua pemandu acara, kemudian membisikkan sesuatu di telinganya dan memberikan uang dalam ampoa merah. Saya juga menitipkan setangkai mawar. Beruntung suasana ramai. Jadi Ping Yi tidak memperhatikan kehadiran saya.
Ping Yi segera memainkan sitar dan bernyanyi. Dia tidak mengetahui kalau yang meminta menyanyi adalah saya. Jemarinya lincah menari di atas dawai sitar. Suaranya naik-turun menelusuri malam.
Ada nada sedih yang saya rasakan. Tiba-tiba saya hanyut dalam kepedihan hidup saya sendiri. Pelan-pelan saya tinggalkan Ping Yi yang masih bernyanyi. Saya tahu Ping Yi kini tidak lagi dibantai kesunyian. Dia tentu sudah bahagia di tengah kecerian keluarga anak angkatnya.
Saya mendengar derap langkah kaki saya pergi dari keramaian pasar seni, membelah sunyi yang mengendap di hati, menelusuri jalan panjang menuju pulang. Sendiri. Ya, masih sendiri. (*) 

Editor :
Jodhi Yudono

Tiap Anak Miliki Kecerdasan Jamak



Senin, 31 Desember 2012 | 07:45 wib

Image: "Kalila" (Foto: SP)
YOGYAKARTA, suaramerdeka.com - Si kecil yang selalu aktif dan bergerak untuk ingin tahu objek tertentu kadang belum kita tanggapi sebagai bakat dan minat anak. Sebagai orang tua, dapatkah kita sejak awal mengembangkan mereka sesuai minatnya? Pertanyaan itulah yang dilontarkan oleh Dr Indria Laksmi Gamayanti MSi psikolog pusat tumbuh kembang anak RSUP Dr Sardjito, pada para peserta seminar ''Pola Asuh untuk Mengembangkan Bakat dan Minat Anak''.
 
Adalah Dharma Wanita FIP UNY yang mengadakan seminar yang dihadiri oleh 200 peserta, terdiri dari dosen, guru, orang tua, dan praktisi pendidikan anak. Seminar yang dibuka oleh Dekan FIP UNY Dr Haryanto MPd diselenggarakan dalam rangka menyambut Hari Ibu, dengan pembicara utama Dr Indria Laksmi Gamayanti MSi.

Seminar itu diawali dengan pernyataan menarik dari pembicara bahwa parenting skill adalah cycling, selalu berputar. Proses pendidikan anak seringkali terjadi di alam bawah sadar kita sehingga dendam pengasuhan dari orang tua sebaiknya diselesaikan agar tidak terbawa saat kita memberikan pendidikan pada anak.

Dalam kesempatan ini, pembicara juga menyampaikan bahwa setiap anak memiliki kecerdasan jamak, yang kadang tidak disadari oleh orang tua sehingga orang tua hanya mengasah pada satu kecerdasan saja.
Dalam seminar itu diharapkan orang tua dapat memperlakukan dan mendidik anak-anaknya sebagaimana layaknya anak anak. ''Anak adalah anak-anak, bukan orang dewasa yang terperangkap dalam tubuh anak-anak,'' tambahnya. ( Bambang Unjianto / CN19 / JBSM )

Senin, 24 Desember 2012

Hadiah Romantis Tak Perlu Mahal Penulis : Hesti Pratiwi | Senin, 24 Desember 2012 | 13:53 WIB










Hadiah buat pasangan anda tak perlu mewah tapi penuh cinta dan perhatian
 
KOMPAS.com – Semangat memberi hadiah harus datang dari hati bukan sekadar mewah dan mahal. Justru hadiah yang bersifat sangat pribadi dan unik menjadi hadiah yang tak ternilai dan selalu dikenang.

Meski kita semua setuju memberikan perhatian atau penghargaan terhadap pasangan harus setiap saat, kapan saja dan dimana saja.  Namun tak ada salahnya bila Anda memanfaatkan momen Natal untuk menunjukan apresiasi kepada orang tersayang.

Berikut adalah beberapa ide hadiah yang bisa diberikan kepada pasangan Anda saat Natal. Sebuah hadiah yang berkesan dan pastinya romantis. Betul sekali, hadiah romantis tak perlu mahal apalagi mewah. Ini juga bisa menjadi ide untuk Anda yang hingga detik ini belum menemukan kado Natal buat pasangan atau kekasih Anda.

1.Foto dalam bingkai

Pilih salah satu momen yang paling berkesan antara kalian berdua. Sebuah kenangan yang lucu, romantis atau menyenangkan. Kenangan yang mampu membakar api asmara kembali dan mengingatkan betapa kalian sangat saling mencintai. Misal foto bulan madu atau foto jadul jaman pacaran dulu. Setelah itu taruh dibingkai, bungkus dan berikan kepadanya. Saat membukanya ia akan mengingat masa tersebut dan kalian bisa duduk mengenangnya bersama sesaat. Ada istilah picture paint a thousand words, biarkan ribuan kata cinta Anda untuknya hadir dalam sebingkai foto.

2. Puisi atau cerpen

Tak ada yang lebih romantis dari hadiah yang orisinal dan sangat pribadi. Puisi, lagu atau cerita pendek yang indah adalah cara yang bagus untuk mengekspresikan perasaan Anda.Tak perlu khawatir jika Anda tidak bisa menulis yang penting adalah maknanya. Duduklah di depan komputer mulailah menulis sebuah cerita tentang kenangan indah pertama kali Anda bertemu dengannya.Lebih mudah lagi buat sebuah daftar seperti "Sepuluh Alasan Aku Cinta Kamu". Apa pun yang Anda tulis akan dihargai terus selamanya.

3.“Scrapbook”

Hal ini mirip dengan gagasan bingkai foto, tapi dibuat dalam sebuah album foto. Kumpulkan foto-foto kenangan kalian berdua dari awal hingga akhir. Mungkin Anda masih menyimpan potongan tiket nonton konser bersama atau tiket bioskop Anda bisa membubuhkannya di sana. Selain tiket tulisan tangan lirik lagu kesukaan kalian bisa menjadi hiasan tambahan yang romantis. Selamat berkreasi!

Sumber: BounceBack

Sabtu, 22 Desember 2012

"GUNUNG PANGRANGO DAN PUISI SOE HOK GIE" Oleh Wiwie Rahmawati - d'Traveler - Rabu, 19/12/2012


TELAGA BIRU
detikTravel Community - 
Gunung Pangrango adalah bagian perjalanan hidup Soe Hok Gie. Dia menulis puisi tentang Pangrango dengan kata-kata dan rima yang penuh penghayatan. Gunung ini pun mampu membuat Soe Hok Gie terpesona, bagaimana dengan Anda?

Kutipan puisi Soe Hok Gie yang dibuat pada tahun 1966 seolah menghipnosisku untuk bermimpi, suatu hari nanti saya akan menginjakkan kaki di Gunung Pangrango. Saya akan berdiri di sebuah hamparan padang luas Mandalawangi yang bertaburan bunga edelweiss.

Gunung Pangrango yang merupakan satu rangkaian dengan Gunung Gede memiliki beberapa jalur pendakian. Jalur-jalurnya adalah Jalur Cibodas, Jalur Putri, dan Jalur Salabintana. Jika melalui pintu utama Jalur Cibodas, kita akan dimanjakan dengan beragam satwa dan tumbuhan. Serta,  keindahan Danau Telaga Biru dan eksotisnya jalur air panas.

Gunung Gede-Pangrango telah menjadi gunung favorit bagi sebagian pendaki. Selain medannya yang tidak terlalu sulit, di sana juga berlimpah air sepanjang rute perjalanan. Tapi Puncak Pangrango lebih jarang didaki, mungkin karena medannya yang lebih sulit. Membuat jalur menuju puncak Pangrango terlihat tampak lebih bersih ketimbang jalur menuju Puncak Gede.

Dingin dan lelah menyatu, tapi puisi itu seolah menyemangatiku untuk bisa sampai di Mandalawangi. Selangkah demi selangkah kutapaki jalan hutan menuju Puncak Pangrango.

Hingga akhirnya, saya tiba di sebuah patok yang terbuat dari semen setinggi kurang lebih 1,5 meter yang sering disebut trianggulasi, itulah Puncak Pangrango. Dari situ, saya mengarah turun sedikit untuk segera sampai dihamparan indah Mandalawangi. Tak sabar rasanya!

Setibanya di sana, kisah dan puisi Soe Hok Gie langsung terngiang di kepala. Tanpa terasa, setitik air mata pun jatuh. Inilah refleksi dari rasa syukur saya berada di satu tempat yang diimpikan. Terimakasih Tuhan atas kesempatan indah ini dan saya pun merindukan Mandalawangi kini.

Aku cinta padamu, Pangrango yang dingin dan sepi
Sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada
Hutanmu adalah misteri segala
Cintamu dan cintaku adalah kebisuan semesta
Malam ini ketika dingin dan kebisuan
Menyelimuti Mandalawangi
Kau datang kembali dan bicara padaku tentang kehampaan semua
"Hidup adalah soal keberanian
Menghadapi yang tanda tanya
Tanpa kita bisa mengerti, tanpa kita bisa menawar
Terimalah, hadapilah"
Dan di antara ransel-ransel kosong
Dan api unggun yang membara
Aku terima itu semua
Melampaui batas-batas hutanmu
Melampaui batas-batas jurangmu
Aku cinta padamu Pangrango
Karena aku cinta pada keberanian hidup

Jakarta 19-7-1966
Soe Hok Gie