Sex blak-blakan dalam serat Centini |
25 Agustus 2013 | 06:51 wib - Wanita Jawa, selalu digambarkan
malu-malu, pendiam, sopan, sangat berbakti pada suami, dan tabu ketika
membicarakan masalah kehidupan seksualnya. Namun tidak demikian halnya kalau
kita membuka Serat Centhini, yang merupakan Kamasutra Jawa, yang mengupas
masalah itu dengan lebih blak-blakan. Cetho melo-melo, yaitu jelas
sejelas-jelasnya.
Memang, kalau kita bicara soal seks dan seksualitas,
mungkin lebih mengenal Kamasutra dari India daripada Serat Centhini, karya
sástra Jawa kuno, yang dirilis di awal abad ke-19. Padahal versi lokal
ini dipercaya jauh lebih lengkap dan “menantang”. Tak ada yang bisa memungkiri,
urusan seks dari abad ke abad selalu saja menarik untuk dibicarakan. Entah
dengan bisik-bisik di antara kaum lelaki di warung kopi, atau di antara kaum
perempuan di sela-sela arisan. Adakalanya dibicarakan secara terbuka tapi
terbatas, seperti di ruang seminar atau kesempatan formal lainnya.
Seks dan seksualitas, dalam pengertian sempit maupun
luas, merupakan bagian penting dalam kehidupan manusia. Ia bagian dari naluri
instingtif yang paling dasar.Tak heran kalau banyak upaya dilakukan untuk
mempelajari, menganalisis, menyusun panduan, atau mengungkapkannya lewat karya
sastra maupun karya tulis lainnya sejak dahulu kala.
Serat Centhini atau Suluk Tembangraras, digubah pada
sekitar 1815 oleh tiga orang pujangga istana Keraton Surakarta, yaitu
Yasadipura 11, Ranggasutrasna, dan R. Ng. Sastradipura (Haji Ahmad Ilhar) atas
perintah K.G.P.A.A. Amengkunegara II atau Sinuhun Paku Buwana V.Serat Centhini
yang terdiri atas 722 tembang (lagu Jawa) itu antara lain memang bicara soal
seks dan seksualitas. Justru karena itulah serat ini menjadi terkenal, bahkan
di kalangan para pakar dunia.
Meski kebudayaan Jawa di masa kejayaan keraton
bersifat represif-feodalistik, demikian tulis Otto Sukatno CR dalam Seks Para
Pangeran: Tradisi dan Ritualisasi Hedonisme Jawa (Bentang, 2002), namun dalam
bidang seksual ternyata sangat jauh dari apa yang kita bayangkan. Masalah
seksualitas muncul dalam ekspresi seni, terutama sastra dan tari.
Dalam Serat Centhini, misalnya, masalah seksual
ternyata menjadi tema sentral yang diungkap secara verbal dan terbuka, tanpa
tedeng aling-aling. Bahkan, masalah seksual dalam serat itu diungkapkan dalam
berbagai versi dan kasus. Bahkan seks juga dibicarakan dalam kaitannya dengan
penikmatan hidup atau pelampiasan hasrat hedonisme yaitu sebuah doktrin
filsafat yang menyatakan bahwa kenikmatan adalah kebaikan tertinggi, atau
satu-satunya kebaikan dalam kehidupan.
Dalam Centhini II (Pupuh Asmaradana) diuraikan dengan
gamblang soal “ulah asmara” yang berhubungan dengan lokasi genital yang
sensitif dalam kaitannya dengan permainan seks. Misalnya, cara membuka atau
mempercepat orgasme bagi perempuan, serta mencegah agar lelaki tidak cepat
ejakulasi. Lalu dalam Centhini IV (Pupuh Balabak) diuraikan secara blak-blakan
bagaimana pratingkahing cumbana yaitu gaya persetubuhan, serta sifat-sifat
perempuan dan bagaimana cara membangkitkan nafsu asmaranya.
Terungkap juga ternyata perempuan tidak selamanya
bersikap lugu, pasif dalam masalah seks sebagaimana stereotipe pandangan Jawa
yang selama ini kita terima. Mereka juga memiliki kebebasan yang sama dalam
mengungkapkan pengalaman seksualnya. Padahal selama ini penggambaran wanita
Jawa selalu bersifat pasrah, dan nrima kepada lelaki. Bahkan pemalu dan
tertutup.
Hal itu tampak dalam Centhini V (Dhandhanggula). Di
ruang belakang di rumah pengantin perempuan pada malam menjelang hari H
perkawinan antara Syekh Amongraga dan Nike Tembangraras, para perempuan
tua-muda sedang duduk-duduk sambil ngobrol. Ada yang membicarakan pengalamannya
dinikahi lelaki berkali-kali, pengalaman malam pertama, serta masalah-masalah
seksual lainnya yang membuat mereka tertawa cekikikan. (Eko
Wahyu Budiyanto/CN37)