Di hilir sungai Batang Agam di daerah Padang Tarok yang airnya jernih,
berdiri sebuah rumah bergojong [berujung] empat. Rumah tersebut dihuni oleh
sepasang suami istri bernama Rajo Babanding dan Sadun Saribai. Mereka mempunyai
dua orang anak, laki-laki dan perempuan, Mangkutak Alam dan Sabai nan Aluih. Mangkutak Alam berwajah tanpan, selalu
dimanjakan oleh ayahnya kemanapun pergi ia
selalu diajaknya dan merupakan anak kebanggaan. Wataknya sedikit
penakut. Sedangkan kakaknya Sabai nan Aluih berwajah cantik, lembut, rajin dan
sering membantu ibunya. Waktu luang dimanfaatkan untuk membuat renda dan
menenun. Kecantikan Sabai nan Aluih ini bahkan didengar sampai ke
kampung-kampung lain di daerah Padang Tarok
Suatu ketika Rajo nan Panjang seorang saudagar kaya yang baru kembali
dari rantau, orang yang disegani di kampong Situjuh berkeinginan untuk
menyunting Sabai nan Aluih. Maka dikirimlah anak buahnya sebagai utusan untuk
melamar Sabai. Rajo Babanding orang tua Sabai menolak lamaran ini karena dia
tahu, Rajo nan Panjang berusia sebaya dengannya, juga bersifat sombong, mata
keranjang dan selalu membanggakan akan kekayaan dan harta bendanya.
“Katakan pada majikanmu, bahwa aku menolak
lamarannya, pula Sabai belum mau berumah tangga!” Berkata Rajo Babanding kepada
utusan Rajo nan Panjang.
Rajo nan Panjang yang berwatak keras
merasa tersinggung atas penolakan ini. Beberapa hari kemudian ia sendiri yang
datang ke rumah Rajo Babanding untuk melamar Sabai nan Aluih tetapi tetap
ditolak dengan alasan Sabai nan Aluih belum mau berumah tangga. Mendengar
langsung penolakan ini, Rajo nan Panjangpun menantang berkelahi kepada Rajo
Babanding.
“Rajo Babanding, kau telah menolak
lamaranku untuk menyunting putrimu Sabai. Itu arinya kau menghinaku dan sebagai
orang yang disegani di kampong Situjuh, aku tak terima ini dan engkau akan
menerima akibatnya.” Ancam Rajo nan Panjang sambil menunjukkan tangannya ke
arah muka Rajo Babanding.
Mendengar ancaman ini Rajo Babanding
sedikitpun tak nerasa takut. Iapun balik menantang Rajo nan Panjang,
“Kau kira aku takut dengan segala
bentuk ancamanmu itu! Baik, sekarang mari kita bertanding!”
“Baik, kapan?” jawab Rajo nan
Panjang.
“Bagaimana kalau hari minggu, di
Padang Panahunan!”
Mendengar pertengkaran ini, Sabai nan
Aluih yang berada di balik pintu, hatinya merasa gusar. Ia takut kalau mimpi
yang dialaminya selama ini akan menjadi kenyataan. Ia bermimpi, lumbung padinya
terbakar jadi arang, kerbau-kerbaunya yang berada di kandang dicuri orang, dan
ayam aduannya disambar elang. Segera iapun mengutarakan mimpinya itu kepada
ayahnya.
“Anakku Sabai, mimpimu itu berarti
baik. Lumbung terbakar berarti padi akan segera dipanen, kerbau dicuri orang
berarti ternak kita akan bertambah, ayam disambar elang itu artinya Mangkutak Alam
akan dilamar orang.” Demikian jawab Rajo Babanding sambil mengelus rambut
putrinya itu dengan maksud untuk menenangkan pikiran gusar Sabai nan Aluih.
Pada hari yang telah disepakati,
pergilah Rajo Babanding ke Padang Panahunan, sebuah tempat sunyi biasa dipakai
sebagai tempat adu kesaktian. Rajo Babanding mengajak seorang pembantu setianya
bernama Palimo Parang Tagok. Ini dilalukannya bukan untuk membantunya
bertanding, tetapi untuk berjaga-jaga apabila Rajo nan Panjang berbuat curang.
Di Padang Panahunan, Rajo nan Panjang
sudah berada di sana terlebih dahulu bersama para pengawalnya. Rajo nan
Kongkong, Lompong Bertuah, dan Panglimo Banda Dalam.
“Hai pengawalku, kuperingatkan
kepadamu. Jangan sekali-kali memandang remeh Rajo Babanding. Meskipun ia Nampak
lembut, ia cukup mahir dalam bermain silat dan hatinya tegar sekeras batu
karang, berhati-hatilah!” Tukas Rajo nan Panjang kepada ketiga pengawalnya.
Setelah kedua belah pihak saling
berdekatan, pertarunganpun tak terelakan lagi, merekapun saling menyerang.
Palimo Banda Dalam tersungkur terkena tendangan Palimo Parang Tagok. Lampong
bertuah menyerang untuk membela temannya dengan menikam Palimo Parang Tagok
dari belakang. Melihat ini Rajo Babanding menjadi marah. Jika semula dia hanya
bertahan, kini dia mulai menyerang. Rajo nan Panjang terluka lalu terjatuh
dalam lukanya yang parah ia berkata kepada pengawalnya, “Nan Kongkong, Kenapa
kau diam saja? Segera tembakkan senapanmu!” Mendengar perintah ini Nan Kongkong
yang berada dibalik semak-semak segera mengarahkan senapannya kearah Rajo
Babanding. Bunyi letusan senapanpun berdentam dari balik semak-semak,
dor...dor..dor... ! Rajo Babandingpun terjatuh ke tanah berlumur darah.
Sementara di tempat lain seorang
gembala ternak yang menyaksikan pertarungan tersebut dan melihat Rajo Babanding
terluka parah tertembak senapan Nan Kongkong, segera menyampaikan kejadian ini
kepada Sabai nan Aluih. Mendengar berita ini, Sabai sangat terkejut. Ternyata
mimpinya menjadi kenyataan. Pada saat itu Mangkutak Alam adik Sabai datang.
Kata Sabai, “Hai, Mangkutak. Mari kita ke Padang Panahunan, ayah kita terluka
parah dan sudahmeninggal karena tertembak senapan di dadanya.“ berkata Sabai
kepada adiknya Mangkutak Alam.
“Oh, kak. Aku tak mau ikut, aku
sungguh takut mati. Bukankah aku akan segera menikah.?” Jawab Mangkutak tidak
perduli sama sekali dengan keadaan ayahnya.
“Percuma kau menjadi laki-laki. Kau
sungguh pengecut! Bentak Sabai kepada adiknya sambil mengambil senapan di dalam
kamar ayahnya. Kemudian iapun berlari ke Padang Panahunan untuk membalas
kematian ayahnya yang terbunuh oleh Nan Kongkong pengawal Rajo nan Panjang.
Mangkutak Alam hanya menatap saja, diam seribu bahasa memandang kepergian Sabai
kakaknya.
Di tengah-tengah perjalanan di kaki
bukit ilalang, Sabai berpapasan dengan Rajo nan Panjang dan pengawalnya.
“ha...ha...ha... Sabai! Kebetulan
sekali. Aku ingin menjemputmu untuk aku lamar. Ternyata engkau dating sendiri!”
kata Rajo nan Panjang.
“Hai, tua bangka yang tak tahu malu.
Kau telah membunuh ayahku dengan cara pengecut! Dasar bedebah!”
“Lancang sekali mulutmu, Sabai. Kau
akan menyesal seperti ayahmu nanti! Mati tertembak senapan ini!” sambil
menepuk-nepuk senapan di tangannya.
“Oh... jadi kau telah membunuh ayahku
yang tidak bersenjata itu. Sungguh kau manusia bedebah. Padahal ayahku tidak
bersenjata, kau sungguh licik!” sambil mengarahkan senapannya ke wajah
laki-laki itu. Dan bunyi senapan Sabaipun berdentam beberapa kali membuat tubuh
laki-laki sombong, mata keranjang terjerambab ke tanah. Tewas seketika. Para pengawal Rajo nan
Panjang setelah melihat majikannya tewas hanya terperangah. Beberapa saat
kemudian Nan Kongkong mengajak temannya pergi sambil berucap, “Untuk apa
membela orang yang sudah mati. Orang mati tentu tak bisa membayar kita.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar