Lingga dan Yoni |
Ketika kita melihat ornamen Candi Sukuh,
maka kita akan disuguhi dua tanda tentang sebuah kesuburan, yaitu lingga dan
yoni. Lingga dan yoni merupakan simbol alat kelamin laki-laki dan perempuan
yang saling berhadap-hadapan.
Hal ini
menunjukkan bahwa kedua unsur tersebut selain menjadi unsur kenikmatan duniawi
yang dicari, juga dianggap berkah yang mampu membiakkan manusia. Maka tidak
mengherankan representasi Sukuh didefinisikan sebagai lambang kesuburan,
sebagaimana Dewi Sri dan Sadhono yang memberi kesuburan pada padi, makanan
utama orang-orang Jawa.
Pertemuan
kelamin laki-laki dan perempuan, yang disebut seks diyakini mengandung makna
yang lebih substansial yakni sebuah kekuatan. Karena mengandung unsur kekuatan
maka orang Jawa jaman dahulu, percaya bahwa seks mempunyai daya linuwih
yang tidak saja secara lahiriah menumbuhkan kenikmatan birahi tetapi juga
dipercaya mampu meningkatkan kesaktian, kewibawaan, kebesaran dan menambah awet
muda, bahkan sebagai salah satu jalan menuju nirvana, seperti pesta Saddha di
jaman Kadhiri.
Maka seks
menjadi amat penting dalam kehidupan manusia Jawa jaman dulu. Semakin tinggi
aktivitas seks seseorang dianggap semakin tinggi kelebihan-kelebihan yang
disandangnya. Apakah
pandangan seperti itu yang kemudian menjadikan seks bagi orang Jawa sebagai
kebutuhan yang diterima apa adanya. Karena kebutuhan maka perilaku seks itu
dianggap biasa-biasa saja. Bagi orang Jawa, seks itu kenikmatan yang
dianugerahkan. Seks itu mendatangkan keberuntungan-keberuntungan. Tidak saja
keberuntungan fisik tetapi juga kebrutungan rohani.
Maka
perilaku seks itu sebagai kebutuhan normal sehari-hari, seperti makan dan
minur. Akhirnya, seks lebih terbuka dan menjadi kebiasaan. Entah mampu
menumbuhkan kekuatan atau sekedar pemuas nafsu, orang Jawa tak peduli. Sehingga
orang Jawa tak terlalu pusing terhadap perilaku seks.
Mereka
menganggap normal saja kalau ada orang yang secara suka rela, lega lila
melakukan hubungan sebadan atas dasar saling suka. Itulah berkah. Itulah anugerah
yang perlu dinikmati. Adapun dampak sosial-ekonomi yang mungkin ditimbulkannya,
agaknya menjadi perhatian di urutan kedua.
Namun pada
perkembangan selanjutnya, sejak kedatangan Islam dan Kristen, pengetahuan seks
bagi orang Jawa berubah. Seks bukan saja dilihat sebagai pelepasan birahi namun
juga berkah yang perlu dijalankan dengan benar yakni dengan tuntunan.
Tuntunan
seks bagi oang Jawa sekarang tampak dalam wewaler “barang siapa yang
melakukan laku guna meningkatkan kesaktian, kewibawaan bahkan mencapai surga
dilarangan keras melakukan seks di luar nikah.” Dengan kata lain, semakin
tinggi aktivitas seks di luar nikah semakin tinggi kehilangan daya linuwihnya.
Ini jauh berbeda dengan pandangan orang Jawa jaman dahulu yang lebih longgar
terhadap seks.
Meskipun
berubah tetapi pandangan seks lama itu bagi masih banyak dianut oleh
orang-orang Jawa. Memang sangat disayangkan bahwa seks kurang dipahami secara
lebih ilmiah bahkan di-tabukan yang pada akhirnya seks dianggap “wilayah
terlarang.” Akibatnya, seks yang semestinya perlu dipahami dengan tuntunan
malah lebih dianggap sekedar pemuas nafsu birahi.
Dengan serta
merta, seks hanya dipahami sebagai perilaku orgasme fisik. Pemerkosaan dan
perilaku seks liar adalah bukti kelemahan tuntunan dan seks lebih dinikmati
sebagai tontonan belaka.
(Eko
Wahyu Budiyanto/CN37)