Senin, 23 Desember 2013

Persepsi Seks Jawa Klasik yang Mempunyai Daya 'Linuwih'


Lingga dan Yoni

Ketika kita melihat ornamen Candi Sukuh, maka kita akan disuguhi dua tanda tentang sebuah kesuburan, yaitu lingga dan yoni. Lingga dan yoni merupakan simbol alat kelamin laki-laki dan perempuan yang saling berhadap-hadapan.

Hal ini menunjukkan bahwa kedua unsur tersebut selain menjadi unsur kenikmatan duniawi yang dicari, juga dianggap berkah yang mampu membiakkan manusia. Maka tidak mengherankan representasi Sukuh didefinisikan sebagai lambang kesuburan, sebagaimana Dewi Sri dan Sadhono yang memberi kesuburan pada padi, makanan utama orang-orang Jawa.

Pertemuan kelamin laki-laki dan perempuan, yang disebut seks diyakini mengandung makna yang lebih substansial yakni sebuah kekuatan. Karena mengandung unsur kekuatan maka orang Jawa jaman dahulu, percaya bahwa seks mempunyai daya linuwih yang tidak saja secara lahiriah menumbuhkan kenikmatan birahi tetapi juga dipercaya mampu meningkatkan kesaktian, kewibawaan, kebesaran dan menambah awet muda, bahkan sebagai salah satu jalan menuju nirvana, seperti pesta Saddha di jaman Kadhiri.

Maka seks menjadi amat penting dalam kehidupan manusia Jawa jaman dulu. Semakin tinggi aktivitas seks seseorang dianggap semakin tinggi kelebihan-kelebihan yang disandangnya. Apakah pandangan seperti itu yang kemudian menjadikan seks bagi orang Jawa sebagai kebutuhan yang diterima apa adanya. Karena kebutuhan maka perilaku seks itu dianggap biasa-biasa saja. Bagi orang Jawa, seks itu kenikmatan yang dianugerahkan. Seks itu mendatangkan keberuntungan-keberuntungan. Tidak saja keberuntungan fisik tetapi juga kebrutungan rohani.
 
Maka perilaku seks itu sebagai kebutuhan normal sehari-hari, seperti makan dan minur. Akhirnya, seks lebih terbuka dan menjadi kebiasaan. Entah mampu menumbuhkan kekuatan atau sekedar pemuas nafsu, orang Jawa tak peduli. Sehingga orang Jawa tak terlalu pusing terhadap perilaku seks.

Mereka menganggap normal saja kalau ada orang yang secara suka rela, lega lila melakukan hubungan sebadan atas dasar saling suka. Itulah berkah. Itulah anugerah yang perlu dinikmati. Adapun dampak sosial-ekonomi yang mungkin ditimbulkannya, agaknya menjadi perhatian di urutan kedua.

Namun pada perkembangan selanjutnya, sejak kedatangan Islam dan Kristen, pengetahuan seks bagi orang Jawa berubah. Seks bukan saja dilihat sebagai pelepasan birahi namun juga berkah yang perlu dijalankan dengan benar yakni dengan tuntunan.

Tuntunan seks bagi oang Jawa sekarang tampak dalam wewaler “barang siapa yang melakukan laku guna meningkatkan kesaktian, kewibawaan bahkan mencapai surga dilarangan keras melakukan seks di luar nikah.” Dengan kata lain, semakin tinggi aktivitas seks di luar nikah semakin tinggi kehilangan daya linuwihnya. Ini jauh berbeda dengan pandangan orang Jawa jaman dahulu yang lebih longgar terhadap seks.
Meskipun berubah tetapi pandangan seks lama itu bagi masih banyak dianut oleh orang-orang Jawa. Memang sangat disayangkan bahwa seks kurang dipahami secara lebih ilmiah bahkan di-tabukan yang pada akhirnya seks dianggap “wilayah terlarang.” Akibatnya, seks yang semestinya perlu dipahami dengan tuntunan malah lebih dianggap sekedar pemuas nafsu birahi.

Dengan serta merta, seks hanya dipahami sebagai perilaku orgasme fisik. Pemerkosaan dan perilaku seks liar adalah bukti kelemahan tuntunan dan seks lebih dinikmati sebagai tontonan belaka.

(Eko Wahyu Budiyanto/CN37)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar