Cerpen Mega Vristian: “PING YI”
Sabtu, 29 Desember 2012 | 18:09 WIB | KOMPAS.com
Udara
menghangat di sela dinginnya winter ketika saya pergi ke pasar bunga. Saya
ingin membeli beberapa pot untuk menambah bunga di rumah majikan saya. Pot-pot
bunga itu akan saya letakkan di ruang galeri lukisan keluarga. Di sana
tersimpan lukisan karya kedua anak majikan saya, juga lukisan saya. Kami
bertiga punya hobi yang sama: Melukis. Melukis
dengan aliran lukisan China.
Saya dikursuskan melukis oleh
majikan saya. Proses saya masuk kursus melukis itu agak unik. Sebetulnya yang
dikursuskan kedua anak majikan saya, tapi kemudian saya dibarengkan sekalian
ikut kursus. Kursus itu diadakan oleh sebuah
partai politik di Hong Kong. Kebetulan kantornya tak jauh dari apartemen
majikan saya. Mungkin untuk menarik masyarakat sekitar, partai itu mengadakan
berbagai kursus pendidikan. Biayanya sangat murah. Dua anak asuh saya oleh
orangtuanya diikutkan kurus chinese painting dan saya kebagian menunggui setiap
mereka sedang kursus. Dan atas kebaikan pimpinan kursus, saya diperbolehkan
menunggui di dalam ruangan, duduk di samping mereka hingga jam kursus selesai. Setiap kursus berlangsung saya ikut
menyimak, kemudian diam-diam saya iseng ikut melukis. Saya melukis di dalam
buku catatan belanja yang saya bawa. Ternyata, ulah iseng saya diperhatikan
sang guru lukis. Tanpa sepengetahuan saya, Pak Guru Lukis membicarakan saya
kepada majikan saya. Entah apa yang mereka bicarakan. Yang jelas, saya kemudian
menjadi murid lukis bersama kedua anak asuh saya itu di kelas lukis yang semua
muridnya warga Hong Kong. Hanya saya yang bukan warga Hong Kong.
Kemampuan melukis saya semakin
bertambah karena kursus tadi. Kemudian saya kenal salah seorang tetangga
apartemen majikan saya. Dia pelukis. Karena dia, lukisan yang saya buat rasanya
pun semakin menyenangkan. Semua lukisan yang kami buat ada di
ruang galeri lukisan keluarga. Ruang yang kami cintai. Saya merasa suasana
bertambah nyaman kalau di ruang itu ada bunga-bunga.
***
Toko kecil milik Paman Ghing Souk di pasar bunga sudah ramai ketika saya datang. Pembelinya kebanyakan perempuan manula. Selain menjual bunga-bunga untuk ditanam, toko bunga itu juga menjual bunga untuk hiasan meja makan dan ritual sesaji Dewa. Para manula itu membeli bunga pelengkap sesaji.
Toko kecil milik Paman Ghing Souk di pasar bunga sudah ramai ketika saya datang. Pembelinya kebanyakan perempuan manula. Selain menjual bunga-bunga untuk ditanam, toko bunga itu juga menjual bunga untuk hiasan meja makan dan ritual sesaji Dewa. Para manula itu membeli bunga pelengkap sesaji.
Saya berpikir bunga apa yang akan
saya beli, sebab saya tahu saya tidak bisa membeli bunga sembarangan. Nenek
majikan saya sering mengingatkan, ada beberapa bunga yang tak layak ditanam di
dalam rumah. Ini menurut tradisi dan kepercayaan masyarakat China. Tanaman
merambat, misalnya, katanya membawa sial. Sejujurnya saya tak percaya, tapi
saya menghargai nasehat nenek karena bunga yang saya beli akan saya letakkan di
rumah mereka.
Ketika sedang asyik memilih bunga,
tanpa sengaja kaki saya menyenggol tumpukan koran dan kertas bekas. Koran dan
kertas-kertas untuk membungkus bunga itu berantakan. Alangkah kagetnya saya? Di
antara koran dan kertas-kertas itu ternyata banyak lukisan China. Makin kaget
lagi ketika melihat Ghing Souk, si paman penjual bunga, dengan santainya hendak
membungkus bunga dengan lukisan China itu. Lukisan China asli. Asli lukisan,
bukan cetakan atau fotokopian. Itu kertas kanvas yang terbuat dari bahan merang
putih.
"Hoiiii, Ghing Souk, tang chan!
(Hoiii, Paman Ghing Souk, bentar!)” teriak saya sambil merebut agak kasar
lukisan itu dari tangan Paman Ghing Souk. “Ini kan lukisan China! Susah
menggambarnya,Paman!"
Ulah saya yang serta-merta ini mengagetkan Paman Ghing Souk dan menarik perhatian para pengunjung. Namun, penjual bunga itu tak marah. Paman Ghing Souk malah tertawa ngakak, sebab kami sudah lama saling kenal.
“Comea?(Kenapa?)”
“Keterlaluan! Ini kan lukisan asli! Sulit melukisnya, tahu!”
“Hahaha…. Me, kamu suka, ya? Tuh, masih banyak. Kalau kau suka, ambil saja! Tapi ganti dengan koran bekas, ya?” kata Paman Ghing Souk, sambil menunjukkan beberapa gulungan lukisan tak jauh dari kakinya.
Saya memungutinya sambil cemberut.
Paman Ghing Souk malah tambah ngakak. Saya masuk-masukkan gulungan lukisan
itu ke dalam tas kresek besar warna hitam yang sengaja saya bawa dari rumah.
Tas untuk saya membawa bunga-bunga yang saya beli, sebab di Hong Kong sudah
banyak toko yang tidak menyediakan tas belanja untuk mengurangi polusi. Saat saya sedang sibuk dengan
lukisan-lukisan itu, suara seorang perempuan mengagetkan saya karena menyapa
dengan keras.
"Me… Ame, ya!" sapanya. Saya menoleh dan saya makin kaget ketika mengetahui perempuan yang memanggil
saya adalah Hing Shui Ping. Dia tetangga apartemen di tempat kerja saya. Dia
yang pernah mengajari saya melukis.
Ya, Allah...! Kami berpelukan
sesaat. Dia kemudian mencium lembut pipi tiris saya.
Oh, ya. Orang-orang di sekitar
tempat kerja saya memanggil saya Ame, kadang juga Meme. Entah kenapa mereka
sulit mengucapkan nama saya: Mega. Sejak Hing Shui Ping pindah empat tahun lalu, kami tak pernah bertemu. Maka
pertemuan ini sungguh surprise bagi kami. Kami saling menanyakan kabar.
"Kertas-kertas lukis itu pemberianku,” ujar Hing Shui Ping menunjuk kertas-kertas yang sudah pindah ke tas kresek milik saya. “Itu sketsa saja, aku tak memerlukannya lagi. Daripada kubuang, lumayan kan untuk bungkus bunga oleh Paman Ghing Souk? Kau kurus sekali sekarang. Apa pekerjaanmu makin berat? Atau, apa kau masih suka melukis hingga larut malam?"
Saya ganti mengamati dirinya. Ping
Yi, begitu saya memanggil Hing Shui Ping. Ping nama akhirnya, sedang Yi dalam
bahasa Kanton artinya ‘tante’. Dia tak banyak berubah, tetap segar dan ceria,
walau gurat tua melukis nakal di wajahnya yang cantik. Saya pertama mengenal Ping Yi
kebetulan juga di pasar bunga ini, duabelas tahun yang lalu. Saat itu dia kerepotan
membawa banyak belanjaan kerepotannya bertambah karena belanjaannya bertambah
dengan seikat besar bunga. Saya membantunya karena saya tahu dia tetangga
majikan saya, cuma kami tak saling kenal waktu itu. Saya beruntung pada akhirnya bisa
mengenal Ping Yi karena selain ramah, dia ternyata seorang pekerja seni. Setiap
malam dia menyanyi sambil bermain sitar dan menjual lukisannya di Pasar Seni
Temple Street. Dulu di awal kepindahan majikan saya
di Yau Ma Tei, saya dibuat penasaran oleh suara perempuan yang menyanyikan
lagu-lagu tradisional China sambil bermain sitar di malam hari.
“Itu kerjaan perempuan gila
malam-malam begini masih bernyanyi!” Itu jawaban majikan saya saat saya tanya
siapa perempuan pemilik suara itu.
Masak sih yang menyanyi itu perempuan gila? Jawaban majikan saya itu membuat saya semakin penasaran. Saya jadi ingin tahu lebih jauh. Tapi, bagaimana caranya? Sebab, saya tahu di Hong Kong sangat sulit mencari informasi yang bukan urusan kita. Nanti dikatakan pa kwak. Pa kwak bahasa Kanton. Artinya, sok ingin tahu urusan orang.
"Kau tahu, Me? Waktu itu pintuku sering digedor satpam karena tetangga pada protes, sebab aku sering tak sadar jika sedang bernyanyi. Suaraku keluar keras. Tak salah jika majikanmu mengatakan aku gila." Dia tergelak kencang.
Karena sering dapat teguran, dia kemudian bernyanyi di rumah hanya ketika Hong Kong hujan deras dan diguncang badai. Saat badai menghempas itulah suara kencang nyanyinya tak terdengar tetangga.
"Mereka yang memintaku menyanyi. Kan membayar aku, Me? Aku jadi harus selalu berlatih bernyanyi walau sudah puluhan tahun aku bernyanyi." Terharu saya mendengar penjelasannya.
Masak sih yang menyanyi itu perempuan gila? Jawaban majikan saya itu membuat saya semakin penasaran. Saya jadi ingin tahu lebih jauh. Tapi, bagaimana caranya? Sebab, saya tahu di Hong Kong sangat sulit mencari informasi yang bukan urusan kita. Nanti dikatakan pa kwak. Pa kwak bahasa Kanton. Artinya, sok ingin tahu urusan orang.
"Kau tahu, Me? Waktu itu pintuku sering digedor satpam karena tetangga pada protes, sebab aku sering tak sadar jika sedang bernyanyi. Suaraku keluar keras. Tak salah jika majikanmu mengatakan aku gila." Dia tergelak kencang.
Karena sering dapat teguran, dia kemudian bernyanyi di rumah hanya ketika Hong Kong hujan deras dan diguncang badai. Saat badai menghempas itulah suara kencang nyanyinya tak terdengar tetangga.
"Mereka yang memintaku menyanyi. Kan membayar aku, Me? Aku jadi harus selalu berlatih bernyanyi walau sudah puluhan tahun aku bernyanyi." Terharu saya mendengar penjelasannya.
Sejak kenal dia, tanpa sepengetahuan
majikan, saya sering bermain ke rumahnya ketika majikan dan anak-anak tak di
rumah, apalagi siang hari dia selalu di rumah. Saya sangat tertarik belajar
melukis China.
Dia mau mengajari saya melukis.
Kalau mengajari saya, dia selalu dengan bernyanyi. Dia pengagum Gu Kaizhi. Dia
pun mengajarkan teori Gu Kaizhi kepada saya. Kata dia, melukis harus penuh
kecintaan hingga akan memberi kekutan pada hasil karya. Saya sendiri sejak dulu
berangan-angan untuk menggabungkan lukisan dengan puisi seperti yang dilakukan
pelukis dan penyair China, seperti Su Dongpo, Ni Yunlin, atau Dong Qichang.
Painthing in poetry and poetry in painthing, waduh asyik sekali!
Suatu ketika saya mengeluh
kepadanya. “Ke Hong Kong kok saya jadi babu saja. Sesungguhnya saya ingin
belajar banyak tentang lukisan China dan sastranya,” kata saya.
"Kita sama perempuan bernasib malang dan miskin, Me. Menghadapi hidup yang begini berat sendiri,” sahutnya. “Tapi aku jarang menangis, kecuali ketika aku dituntut penjiwaan dalam lagu atau opera. Bahkan ketika suamiku sering menamparku, aku tak menangis. Aku baru benar-benar menangis saat suamiku meninggal dengan tragis. Aku menangisinya karena dia tak menyadari bahwa aku teramat mencintainya dan menjaga kesetiaan cintaku buat dirinya."
Waktu itu malah saya yang menangis hingga tetesan air mata saya membuat genangan kecil di kanvas lukis dari kertas merang yang terhampar di meja.
Saya lalu gantian bercerita dengan maksud menguatkan hatinya. Saya bercerita tentang ribuan perempuan Indonesia yang terpaksa meninggalkan keluarganya, termasuk saya. Dia lalu memeluk saya erat sekali.
"Jangan menangis, Me, suruh mereka kuat dan jangan menangis," nasehatnya.
"Kita sama perempuan bernasib malang dan miskin, Me. Menghadapi hidup yang begini berat sendiri,” sahutnya. “Tapi aku jarang menangis, kecuali ketika aku dituntut penjiwaan dalam lagu atau opera. Bahkan ketika suamiku sering menamparku, aku tak menangis. Aku baru benar-benar menangis saat suamiku meninggal dengan tragis. Aku menangisinya karena dia tak menyadari bahwa aku teramat mencintainya dan menjaga kesetiaan cintaku buat dirinya."
Waktu itu malah saya yang menangis hingga tetesan air mata saya membuat genangan kecil di kanvas lukis dari kertas merang yang terhampar di meja.
Saya lalu gantian bercerita dengan maksud menguatkan hatinya. Saya bercerita tentang ribuan perempuan Indonesia yang terpaksa meninggalkan keluarganya, termasuk saya. Dia lalu memeluk saya erat sekali.
"Jangan menangis, Me, suruh mereka kuat dan jangan menangis," nasehatnya.
Ping Yi bukan asli penduduk Hong
Kong. Dia dari lembah Wen Chang, Hainan, China. Berasal dari keluarga miskin,
anak ke-6 dari sembilan bersaudara. Orangtuanya pemetik teh. Sepulang sekolah,
dia pun membantu orangtuanya memetik teh. Saat memetik teh itulah dia suka
bernyanyi hingga para tetangganya mengetahui kepandaiannya bernyanyi.
Ketika usia 13, suara Ping Yi
menarik perhatian kelompok opera China sehingga dia ditarik menjadi anggota
spesial. Anggota spesial karena Ping Yi masuk tanpa tes. Sejak itu dia keliling
ke berbagai wilayah.
Dia cantik, sangat cocok sebagai
penyanyi apalagi suaranya sangat mengagumkan. Dia juga pintar menggambar dan
memainkan sitar. Seorang lelaki Hong Kong mengagumi suaranya dan akhirnya
memboyongnya ke Hong Kong sebagai istri. Malangnya, suaminya temperamental,
kasar, suka memukul, dan pemabok. Namun, Ping Yi tetap memilihnya karena dia
ingin menjadi warga negara Hong Kong. Menjadi warga Hong Kong memang menjadi
impian banyak gadis di zamannya.
Empat tahun Ping Yi di Hong Kong, suaminya meninggal akibat keributan antar geng hitam di daerah Jordan. Belakang diketahui suaminya terjerat utang pada rentenir akibat kalah judi di Macau. Beruntung Ping Yi masih mempunyai tabungan dari hasil menjual lukisan-lukisannya sehingga rumah suaminya bisa diperjuangkan menjadi miliknya.
Empat tahun Ping Yi di Hong Kong, suaminya meninggal akibat keributan antar geng hitam di daerah Jordan. Belakang diketahui suaminya terjerat utang pada rentenir akibat kalah judi di Macau. Beruntung Ping Yi masih mempunyai tabungan dari hasil menjual lukisan-lukisannya sehingga rumah suaminya bisa diperjuangkan menjadi miliknya.
Dia pernah mengambil keponakannya,
seorang gadis jelita, tapi gadis itu akhirnya pergi dan memilih jadi pelacur
karena tak tahan hidup sederhana dengan Ping Yi.
Sejak itu, Ping Yi total hidup sendiri sebagai penyanyi panggilan dan kadang mangkal di restoran-restoran. Namun, empat tahun lalu, karena faktor ekonomi, dia menjual rumah warisan suaminya. Sebagian uangnya dikirim ke Wen Chang untuk membantu pendirian sekolah seni. Setelah itu, saya kehilangan jejaknya.
***
Kami berpisah di pintu pasar karena masih banyak yang harus saya beli. Ping Yi, sejak menjual rumah suaminya, ternyata dia tinggal tiga tahun di China, bekerja sebagai guru di sekolah seni. Namun, rasa cintanya kepada almarhum suaminya mengantar dia kembali ke Hong Kong. Dia ingin merawat kuburan Suaminya. Kini dia tinggal bersama anak angkatnya yang sudah menikah dengan lelaki Hong Kong, dan Ping Yi tetap bernyanyi walau usianya sudah tak muda lagi.
Saya bahagia masih bisa menemuinya lagi sesuka saya saat ada kesempatan. Nah, kemarin malam saya mengatakan sejujurnya kepada majikan saya bahwa saya akan menemui Ping Yi setelah urusan makan malam selesai.
Sejak itu, Ping Yi total hidup sendiri sebagai penyanyi panggilan dan kadang mangkal di restoran-restoran. Namun, empat tahun lalu, karena faktor ekonomi, dia menjual rumah warisan suaminya. Sebagian uangnya dikirim ke Wen Chang untuk membantu pendirian sekolah seni. Setelah itu, saya kehilangan jejaknya.
***
Kami berpisah di pintu pasar karena masih banyak yang harus saya beli. Ping Yi, sejak menjual rumah suaminya, ternyata dia tinggal tiga tahun di China, bekerja sebagai guru di sekolah seni. Namun, rasa cintanya kepada almarhum suaminya mengantar dia kembali ke Hong Kong. Dia ingin merawat kuburan Suaminya. Kini dia tinggal bersama anak angkatnya yang sudah menikah dengan lelaki Hong Kong, dan Ping Yi tetap bernyanyi walau usianya sudah tak muda lagi.
Saya bahagia masih bisa menemuinya lagi sesuka saya saat ada kesempatan. Nah, kemarin malam saya mengatakan sejujurnya kepada majikan saya bahwa saya akan menemui Ping Yi setelah urusan makan malam selesai.
Sudut jalan Tempel Market, samping
kantor pos, Jordan, malam hari selalu ramai. Selain digunakan sebagai pasar
malam, juga ada panggung-panggung untuk pementasan seni atau ngamen, tapi pada
tempat yang tetap. Tempat pentas yang sederhana, hanya beralas lantai.
Ketika saya datang, pertunjukan seni sudah dimulai. Mereka menyajikan karaoke lagu klasik China. Saya juga melihat Ping Yi sibuk bernyanyi sendiri, terkadang juga duet atas permintaan penonton. Suaranya masih seperti dulu, mengagumkan.
Ketika saya datang, pertunjukan seni sudah dimulai. Mereka menyajikan karaoke lagu klasik China. Saya juga melihat Ping Yi sibuk bernyanyi sendiri, terkadang juga duet atas permintaan penonton. Suaranya masih seperti dulu, mengagumkan.
Saya dengan isyarat telunjuk
memanggil lelaki tua pemandu acara, kemudian membisikkan sesuatu di telinganya
dan memberikan uang dalam ampoa merah. Saya juga menitipkan setangkai mawar.
Beruntung suasana ramai. Jadi Ping Yi tidak memperhatikan kehadiran saya.
Ping Yi segera memainkan sitar dan bernyanyi. Dia tidak mengetahui kalau yang meminta menyanyi adalah saya. Jemarinya lincah menari di atas dawai sitar. Suaranya naik-turun menelusuri malam.
Ping Yi segera memainkan sitar dan bernyanyi. Dia tidak mengetahui kalau yang meminta menyanyi adalah saya. Jemarinya lincah menari di atas dawai sitar. Suaranya naik-turun menelusuri malam.
Ada nada sedih yang saya rasakan.
Tiba-tiba saya hanyut dalam kepedihan hidup saya sendiri. Pelan-pelan saya
tinggalkan Ping Yi yang masih bernyanyi. Saya tahu Ping Yi kini tidak lagi
dibantai kesunyian. Dia tentu sudah bahagia di tengah kecerian keluarga anak
angkatnya.
Saya mendengar derap langkah kaki saya pergi dari keramaian pasar seni, membelah sunyi yang mengendap di hati, menelusuri jalan panjang menuju pulang. Sendiri. Ya, masih sendiri. (*)
Saya mendengar derap langkah kaki saya pergi dari keramaian pasar seni, membelah sunyi yang mengendap di hati, menelusuri jalan panjang menuju pulang. Sendiri. Ya, masih sendiri. (*)
Editor :
Jodhi Yudono